Jumat, 26 Juni 2015

Duh, Saya Menipu di Bulan Ramadhan


Dering telepon dari nomor 081224791118 mengagetkan saya pagi ini. Jelas bukan sebuah nomor dari kontak yang tersimpan. Siapa sih gerangan? “Halo,” sapa saya. “Halo, Assalamualaikum Bapak, perkenalkan saya Insinyur Haji Bambang Irawan, M.Si.,M.Pd dari PT Telkomsel Pusat Jakarta ingin memberitahu sebuah kabar gembira bagi Bapak sekeluarga.” Jreeng. Ini dia, satu lagi seorang penipu nyasar ke nomor saya. Coba deh, saya ladeni dulu orang ini. “Kabar gembira Pak?” “Iya betul Bapak, syukur Alhamdulillah nomor Bapak telah keluar sebagai pemenang undian Telkomsel Poin yang tadi malam pukul sebelas dan disiarkan langsung di stasiun televisi Global TV Pak,” cerocosnya dengan nada bicara cepat dan meyakinkan. “Global TV Pak?” tanya saya. “Iya betul Pak, syukur Alhamdulillah, Bapak tidak nonton ya?” “Wah tidak Pak, tadi malam saya ketiduran.” “Jadi begini Pak, dari sepuluh nomor yang keluar jadi pemenang, Bapak ada di urutan tiga besar dan syukur Alhamdulillah Bapak berhak mendapatkan dana bantuan THR senilai lima belas juta rupiah dan plus bonus pulsa sebesar 1 juta.” Hmm, orang ini rupanya terlalu banyak menyalahgunakan ungkapan “syukur Alhamdulillah” untuk tujuan yang tidak baik. “Jadi untuk proses pengiriman hadiah kami kirim lewat ATM. Bapak punya ATM kan? Di Bank apa Bapak?” “Emm, Bank Muamalat,” jawab saya, sengaja tidak menyebut bank biasa seperti BRI, BNI atau Mandiri. “Oke, jadi Bank Muamalat ya? Berapa nomor rekeningnya Bapak?” “Aduh Pak, ATM-nya lagi dibawa istri saya belanja ke pasar, bagaimana ini?” “Tolong istrinya dihubungi ya Pak, disusul atau bagaimana. Sementara nomor rekeningnya bisa saya catat? Berapa Bapak?” “Itu dia Pak, gimana ya? Nomor rekeningnya dibawa juga sama istri.” “Lho, nomor rekening kok bisa dibawa?” “Lha iya dong Pak, kan ATM-nya dibawa buat belanja. Nah, nomornya kan ada dii buku tabungan, disimpan di tasnya. Saya kan nggak hapal nomornya Pak.” “Bapak perlu tahu ya Pak, kalau tidak ada nomor rekening, hadiah bisa hangus karena kami gunakan sistem gugur alias bedrest… “Sistem apa Pak? Bedrest?” dalam hati saya menahan tawa mendengar istilah bedrest. “Sistem dorpress Bapak, artinya sistem gugur, jadi kalau Bapak tidak bisa, terpaksa kami batalkan hadiah dan dilimpahkan pada pemenang cadangan.” “Eh tunggu Pak Budi, jangan batal Pak Budi, emm, nama Bapak Budi Irawan bukan?” sengaja saya bumbui acting saya dengan menyebut nama salah, hasil belajar dari nonton OVJ. “Saya Bambang Irawan, bukan Budi. Jadi bagaimana ini Bapak mau batal atau?” “Tunggu dulu Pak, bagaimana kalau tunggu lima belas menit lagi saya hubungi istri saya bagaimana?” “Jangan terlalu lama Pak, sepuluh menit lagi kami hubungi ya?” “Oke Pak, sepuluh menit.” Selama sepuluh menit menunggu, saya mencatat sebuah nomor abal-abal sebagai jawaban jika dia bertanya. Dan ternyata, si Budi, eh Bambang Irawan masih menganggap saya sebagai calon korban potensial dengan kembali menghubungi saya sepuluh menit kemudian. “Halo, Assalamualaikum, bagaimana Bapak sudah ada nomor rekeningnya?” tanya dia. “Sudah Pak, ini nomor 919574111124,” jawab saya sambil mengeja nomor rekening palsu itu. “Atas nama siapa Pak?” “Atas nama Heri Sujono,” itulah nama sekilas yang saya ingat. “Baik, bisa diulangi nomornya Pak?” tanya dia. “919574111124…” jawab saya. Rupanya dia ngetes nih, untung meskipun mengarang saya sudah mencatat nomor itu. “Oke, benar Pak. Jadi selanjutnya Bapak kami beri tugas pergi ke ATM sekarang juga. Tolong henponnya jangan dimatikan ya Pak, soalnya saya akan pandu dari sini.” “Tidak dimatikan? Wah gimana kalau basah Pak, soalnya gerimis Pak, takut henpon rusak,” dan sampai pada titik ini saya sudah mulai merasa jago berakting. “Bapak masukin kantong atau bagaimana lah, yang penting jangan dimatikan. Sekarang berapa jarak ke ATM dari rumah Bapak?” “Emm, sekitar tujuh menit Pak, naik motor.” “Oke sekarang juga Bapak berangkat ke ATM, ingat henpon jangan dimatikan,” “Iya, iya Pak, saya berangkat sekarang…” Demi memuluskan adegan, terpaksa saya pun mengambil motor dan mengendarainya seolah-olah pergi ke ATM. Padahal saya cuma muter di depan rumah dan pencet-pencet klakson sedikit supaya tambah meyakinkan, terdengar lewat henpon di kantong. Eh, ternyata nggak sadar sambungan henpon sudah putus dan sudah ada tiga panggilan tak terjawab dari Pak Budi, eh Bambang. Saya pun mengirim SMS padanya untuk menghubungi kembali. “Halo Assalamualaikum Bapak, sudah di ATM?” tanyanya. “Sudah Pak, saya di ATM ini, tapi…” “Ya, bagaimana bisa langsung saya pandu?” “Sebentar Pak, tapi ini kata Satpam di ATM, saya tidak boleh memakai ATM.” “Lho, kenapa kok begitu?” “Iya, saya kan minta tolong Pak Satpam bantu saya pakai ATM karena saya tidak biasa. Tapi katanya saya tidak boleh bertransaksi dengan Bapak sebelum ada informasi dari Bank,” jawab saya sekenanya. “Bapak ini percaya saya dari Telkomsel Pusat Jakarta atau dengan Satpam? Oke, terserah Bapak, soalnya 15 juta bisa hangus dan hadiahnya akan kami alihkan…” “Tunggu dulu Pak Budi! Tunggu!” kembali saya mencoba dramatis. “Iya makanya Bapak harus percaya saya, sayang lho 15 juta hangus berarti Bapak menyia-nyiakan rejeki. Hmm, dia sudah tak sadar dipanggil namanya dengan “Budi” bukan “Bambang”. “Betul Pak, apalagi ini mau lebaran, uangnya banyak sekali buat THR…” “Syukur Alhamdulillah, Bapak memang beruntung sekali…” “Tapi Pak, tak bisakah dikirim lewat wesel Pos saja? “Hmm, wesel Pos? Bisa saja Pak, tapi Bapak akan dikenai pajak besar senilai 200 ribu rupiah.” “Nggak papa Pak, potong saja dari uang hadiah saya yang 15 juta.” “Oh, tidak bisa Pak. Pajak itu harus dikirim ke kami dari dana Bapak sendiri, tidak bisa hadiahnya dipotong.” “Aduh, gimana ya Pak, saya bingung ini?” “Atau kalau tidak bisa, Bapak harus membeli pulsa berupa voucher elektrik senilai 200 ribu yang ditransfer ke nomor henpon yang kami tentukan sebagai bukti bahwa alamat Bapak memang valid.” Wah, banyak juga alasan Bambang Irawan ini demi meraih keuntungan dari calon korbannya. “Duh, Pak kebetulan tidak ada uang 200 ribu di dompet saya ini,” jawab saya dengan nada memelas. “Bapak kalau tidak bisa usahakan ya terpaksa kami batalkan hadiahnya.” “Tunggu Pak Budi! Masak dibatalkan sih? Kasihan saya Pak Budi.” “Makanya Bapak harus bantu kami dong, kami sudah banyak buang waktu untuk Bapak, kalau memang tidak bisa ya terpaksa kami batalkan!” nadanya mulai meninggi. “Lho, Pak Budi kok marah? Ini kan bulan puasa Pak Budi, atau kalau mau saya cari pinjeman dulu Pak sebentar…” saya pun pura-pura ngobrol dengan seseorang, mau pinjam uang 200 ribu. “Halo Pak Budi!” “Iya bagaimana Pak?” dan orang ini sudah pasrah saya panggil dengan nama “Budi”. “Wah, gimana ini Pak Budi, Pak Satpam yang tadi benar-benar galak, nggak mau dipinjemi uangnya…” “Oke Pak, sudah kalau begitu terpaksa kami batalkan hadiahnya!” “Pak Budi! Tungguuuuu……” Dan akhirnya sambungan telepon itu pun terputus. Pupus sudah harapan saya dapat THR sebesar 15 juta rupiah. Hanya sebuah penyesalan tersisa bagi saya, karena sudah “menipu” orang saat di bulan puasa, meskipun yang saya tipu adalah seorang penipu profesional. Ternyata modus penipuan begini tidak ada hentinya terjadi, meskipun di bulan puasa. Justru para penipu mencoba memanfaatkan momen puasa dan jelang lebaran untuk lebih meyakinkan si korban. Salam hati-hati. copas.. KOMPASIANA widi Kurniawan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar